Di Sini Hujan, Listrik Mati dan Aku Menulis
4 jam lalu
Aku sadar, perlahan aku telah menjadi budak. Budak pekerjaan, budak harapan, budak mimpi duniawi yang kian hari kian menakutkan.
***
Aku menulis ini tanpa arah yang jelas. Di sini hujan sejak sore tadi, listrik mati, jaringan hilang dan beberapa project menjadi sedikit tertunda. Yang kutahu agar terhindar dari rasa bosan hanyalah satu hal, aku ingin membuka laptop yang setiap hari menemaniku bekerja, lalu membiarkan jemariku menari tanpa rencana, tanpa tujuan yang pasti. Bila biasanya aku banyak menulis tentang cinta dan kehilangan, kali ini aku hanya ingin merasakan keberadaan. Aku tidak ingin merasa sendirian.
Sejak dulu, menulis adalah sahabatku paling setia. Ia selalu ada, bahkan ketika manusia satu per satu meninggalkan. Ia tidak menuntut apa-apa dariku, tidak pernah marah meski aku mengabaikannya, dan tidak pernah menghukumku meski aku membiarkannya sepi berbulan-bulan. Menulis adalah rumah, tempat aku pulang setelah berkelana dalam kesibukan dan kekosongan. Berbeda dengan manusia yang sering datang lalu pergi, meninggalkan lubang-lubang luka yang tak selalu bisa kutambal, menulis justru selalu menunggu, setia, sabar, dan penuh pengertian.
Namun, hidup tidak selalu memberi ruang untuk keindahan. Sejak aku mulai mengarahkan tulisan pada hal-hal yang lebih serius yang menghasilkan pundi-pundi rupiah, yang mampu membuatku bertahan di dunia orang dewasa, aku perlahan berubah. Aku menjadi sosok yang kering, gersang, materialistis. Aku tidak lagi merawat kata-kata dengan cinta. Aku menulis bukan untuk merayakan jiwa, melainkan untuk menyelesaikan kewajiban. Aku tak lagi menulis puisi, tak lagi menciptakan syair yang dulu mampu menyentuh hatiku sendiri. Kata-kata yang seharusnya menumbuhkan, kini hanya kutukar dengan angka-angka dalam rekening. Hati yang dulu basah oleh doa dan pengharapan, kini kubiarkan menjadi tanah tandus yang retak dan pecah, tak lagi kusirami dengan air mata penghambaan.
Aku sadar, perlahan aku telah menjadi budak. Budak pekerjaan, budak harapan, budak mimpi duniawi yang kian hari kian menakutkan. Aku terpaku pada umur yang berjalan, pada target yang menumpuk, pada kecemasan yang terus mengekori. Aku takut tidak menjadi kaya, takut tidak berhasil, takut ditinggalkan orang-orang ketika aku sedang berjuang. Barangkali inilah yang dinamakan menjadi dewasa, sebuah jalan panjang yang penuh ketakutan, di mana menulis tak lagi menjadi pelarian, melainkan sekadar pekerjaan.
Namun, ingatanku sering mengkhianati masa kini. Ada saat-saat di mana aku merindukan diriku yang dulu. Masa di kamar kos, ketika malam menutup kota dirumah paling sudut bernomor G14. Aku duduk beralaskan keramik, menyalakan lampu redup, lalu membuka buku catatan yang halaman-halamannya penuh dengan goresan. Aku menulis apa pun yang ingin kutulis. Perasaan yang kusimpan, keresahan yang kupeluk, doa-doa yang kutitipkan pada bait-bait sederhana. Aku menulis dengan bebas, dengan hati yang polos, tanpa takut dinilai, tanpa menimbang apakah kata-kata itu berharga atau tidak.
Kini, setiap kali aku mengingatnya, ada rasa rindu yang menyesakkan. Kerinduan kepada diriku sendiri, diriku yang menulis karena cinta dan keindahan.
Padahal, aku telah menulis banyak hal. Tulisan-tulisan itu kelak mungkin akan tetap hidup, menjadi abadi, bahkan setelah aku tiada. Setiap kata yang kutorehkan adalah semacam prasasti, saksi bahwa aku pernah ada. Namun aku sadar, aku hanyalah manusia biasa. Aku akan mati tanpa membawa apa-apa, dan tulisanku mungkin hanya akan menjadi debu di rak-rak yang terlupakan. Aku tidak akan terkenal karena kebiasaan ini. Bahkan tokoh-tokoh yang kuceritakan dalam tulisanku pun mungkin tak pernah peduli bahwa aku pernah menuliskannya.
Lantas, apa arti dari semua ini?
Untuk apa aku menulis, jika pada akhirnya aku merasa kehilangan diriku sendiri?
Pertanyaan itu terus mengganggu, namun aku belum punya jawaban. Yang kutahu hanyalah satu hal, aku tidak bisa benar-benar berhenti menulis. Meskipun kini alasan utamaku adalah uang, jauh di dalam hatiku aku tahu, menulis selalu lebih dari sekadar pekerjaan. Ia adalah cermin, doa, pengingat, dan penawar luka. Ia adalah bisikan jiwa yang membuatku tetap manusia, bahkan ketika aku merasa kehilangan rasa.
Wahyu Kurniawan

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Di Sini Hujan, Listrik Mati dan Aku Menulis
4 jam laluNasab Baalawi dalam Pandangan Muhibbin, Menghormati Tanpa Fanatisme
Sabtu, 20 Juli 2024 15:01 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler